Surabaya – Ketua PDIP Surabaya yang juga merupakan Wakil Wali Kota Surabaya Wisnu Sakti Buana menyatakan tegas menolak penutupan tempat pelacuran lokalisasi Dolly pada 19 Juni mendatang. Bahkan Wisnu memaparkan, bahwa penolakan tempat maksiat itu merupakan sikap resmi PDI-P dalam melihat realitas sosial prostitusi di Dolly. Ia meminta Pemkot Surabaya untuk mengkaji ulang waktu penutupan, karena menyangkut hajat orang banyak.
Wakil
Wali Kota Surabaya itu pun menyerang atasannya, yakni Wali Kota
Surabaya Tri Rismaharini. Ia menyebut Risma arogan, karena menargetkan
penutupan lokalisasi Dolly, tetap pada 19 Juni 2014.
Jika pemkot Surabaya tetap akan
melakukan penutupan lokalisasi Dolly pada 19 Juni 2014, maka besar
kemungkian akan chaos (timbul kekacauan) karena secara tegas Wawalikota
Surabaya, Whisnu Sakti Buana, menyatakan dirinya bersama kader akan siap
berada di posisi warga sekitar Dolly yang terdampak.
Wakil Walikota Surabaya ini rupanya
tidak main-main atas pernyataannya yang akan membela tempat pelacuran
yang dikenal bernama Dolly, jika pemkot Surabaya benar-benar akan
melakukan penutupan pada 19 Juni 2014, karena himbauan penundaan yang
dilontarkannya merupakan keputusan partai.
“Soal Dolly adalah prinsip, karena
menyangkut hajat orang banyak, maka sikap saya dan partai (PDIP) tegas
agar pemkot Surabaya terlebih dahulu mengajak bicara warga kota Surabaya
asli yang terdampak, karena PSK dan Mucikari disana seratus persen
bukan warga kota Surabaya,” ucap Wisnu Sakti.
Ditanya apakah hal itu berarti seluruh
kader PDIP kota Surabaya akan turut terjunkan untuk membantu warga
sekitar Dolly, Wisnu mengaku bahwa melakukan pembelaan kepada masyarakat
merupakan program partai yang multak harus dijalankan oleh kader. “Itu
sudah jelas, karena merupakan program partai yang harus di laksanakan,”
tegas Wisnu.
Wisnu juga menyatakan bahwa dirinya
bersama kader partai akan siap berada dibarisan warga kota Surabaya
sekitar lokalisasi gang Dolly yang terdampak, jika pemkot Surabaya
memaksakan program penutupannya pada tanggal 19 Juni mendatang. “Ya kita
lihat saja nanti, karena kami tidak akan tinggal diam, dan saya bersama
kader PDIP akan berada disana bersama warga setempat,” tegasnya.
Orang nomor dua di Surabaya ini menilai,
penutupan tempat maksiat (prostitusi) terbesar se-Asia Tenggara
tersebut merupakan tindakan keliru. Pasalnya, penutupan akan merugikan
warga Surabaya yang selama ini menggantungkan hidupnya dari penghasilan
haram.
Mantan wakil ketua DPRD Surabaya ini
menegaskan, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemkot
Surabaya tidak pernah secara serius melakukan sosialisasi ke warga
terkait penutupan tempat haram terbesar se-Asia Tenggara ini. “Selama
ini pemkot terkesan sangat arogan. Ini (Dolly) ditarget tutup. Padahal
program yang dilakukan pemerintah itu apa,” katanya.
Sebelumnya target waktu penutupan Gang
Dolly sebelum Ramadhan dilontarkan oleh Wali Kota Surabaya Tri
Rismaharini pada akhir tahun lalu, dan kembali ditegaskan pada April
2014. “Bulan puasa nanti, di Surabaya harus sudah tidak ada tempat
seperti itu (lokalisasi), pokoknya kita dorong terus agar tepat waktu,”
tegas Risma.
Agar program penutupan Dolly mulus dan
tepat waktu, Risma koordinasi secara intens dengan Kementerian Sosial
(Kemensos). Dia mengakui menutup lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara
itu bukan perkara mudah lantaran harus memikirkan dampak dari segi
ekonomis.
Sementara itu, sebanyak 58 Ormas Islam
yang tergabung dalam Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) Jawa Timur,
mendatangi Tri Rismaharini ke Balai Kota Surabaya, Rabu 14 Mei 2014.
Ormas-ormas Islam tersebut diantaranya
Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur, Muhammadiyah Jawa Timur, Hidayatullah
Jawa Timur, Perhimpunan Al Irsyad Jawa Timur, Dewan Masjid Indonesia
Jawa Timur, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jawa Timur, FPI Jawa Timur,
Persatuan Islam (Persis) Jawa Timur, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI) Jawa Timur dan lainnya.
Di bawah komando Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Jawa Timur, mereka mendukung rencana Risma menutup Dolly, dan
siap memback-up penuh rencana penutupan lokalisasi itu. “Pokoknya kita
berada di belakang Ibu Risma. Pada intinya, 58 Ormas Islam di Jawa Timur
tetap mendukung rencana wali kota menutup tempat tempat prostitusi,
khususnya Gang Dolly pada 19 Juni atau 10 hari sebelum bulan Ramadhan
tahun ini. Kami harap tidak ada perubahan,” terang Sekretaris MUI Jawa
Timur, M Yunus di balai kota.
Koordinator GUIB Jatim, H. Abdurrachman
Azis, mengatakan pihaknya bertemu walikota untuk memberikan dukungan
moril kepada walikota terkait rencana penutupan Dolly. Dukungan itu
diwujudkan dalam enam butir pernyataan sikap GUIB Jatim yang dibacakan
di hadapan walikota.
Enam butir pernyataan itu diantaranya
mendukung sepenuhnya kebijakan Pemkot Surabaya untuk menutup lokalisasi
Dolly tanggal 19 Juni 2014 sebagaimana tertuang dalam kesepakatan dengan
Gubernur Jatim. Serta, mengutuk dengan keras atas tindakan pihak
tertentu yang membonceng isu penolakan penutupan tempat-tempat
prostitusi di Surabaya khususnya Dolly untuk kepentingan
politis-pragmatis jangka pendek dengan mengatasnamakan masyarakat
terdampak. “Intinya, kami mendukung ibu walikota untuk menutup
tempat-tempat prostitusi sebelum bulan Ramadan,” tegas Abdurrachman
Azis.
Walikota Surabaya, Tri Rismaharini
menyatakan berterimakasih atas dukungan GUIB Jatim. Namun, walikota
menegaskan bahwa yang paling utama dalam upaya revitalisasi kawasan
lokalisasi Dolly adalah terjaganya kondusifitas di Kota Surabaya. “Saya
tidak ingin ada gesekan, saya harus bisa menjaga kondusifitas Surabaya.
Saya yakin panjenengan niatnya baik. Jadi saya mohon didoakan supaya
kami kuat. Kami mohon diberikan kesempatan untuk menyelesaikannya dulu.
Saya yakin, kalau kita niatnya baik, Insya Allah, Allah akan membantu,”
tegas walikota.
Selain itu, munculnya polemik yang
menyatakan bahwa penutupan lokalisasi Dolly belum siap disayangkan Ketua
PW NU Jatim KH Hasan Mutawakkil Alallah. Dia menilai sikap itu
bertentangan dengan cita-cita masyarakat Surabaya dan sekitarnya.
Pernyataan Mutawakkil disampaikan saat
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Surabaya Supomo bersama jajarannya
bersilaturahmi ke kantor PW NU Jatim. Mutawakkil memahami bahwa pro dan
kontra pasti ada. Tapi, jangan sampai kelompok yang demikian itu
dituruti.
Mutawakkil menegaskan, penutupan
lokalisasi tersebut merupakan cita-cita dan amanat masyarakat yang
diamanahkan kepada pemerintah. Gubernur maupun wali kota memiliki
tanggung jawab untuk merealisasikan cita-cita itu. ”Bila ada yang
menentang, sama artinya mereka berhadapan dengan masyarakat,” ucapnya.
Penutupan 19 Juni nanti merupakan
realisasi rencana yang sudah muncul jauh-jauh hari. Jangan sampai batal
dan tertunda lagi. Apalagi, persiapan sudah disusun secara rapi.
Terkait dengan adanya isu bakal muncul
pengerahan massa yang menolak penutupan, Mutawakkil meminta aparat
bertindak tegas. Sebab, penutupan lokalisasi sudah menjadi program
pemerintah yang didukung masyarakat. Ketika ada yang menentang, secara
tidak langsung mereka akan berurusan dengan hukum. ”Sudah sepatutnya
ditindak,” tegasnya.
Bila mereka tetap memaksa, masyarakat yang tergabung dalam organisasi NU juga cukup banyak. Mereka siap turun ke lapangan untuk membantu pemerintah dalam memerangi kemaksiatan di masyarakat. Tapi, Mutawakkil meminta sebisa-bisanya jangan sampai ada pengerahan massa. ”Semua ada jalurnya, makanya aparat harus tegas,” tutur dia .
sumber :http://www.citizenjurnalism.com
Bila mereka tetap memaksa, masyarakat yang tergabung dalam organisasi NU juga cukup banyak. Mereka siap turun ke lapangan untuk membantu pemerintah dalam memerangi kemaksiatan di masyarakat. Tapi, Mutawakkil meminta sebisa-bisanya jangan sampai ada pengerahan massa. ”Semua ada jalurnya, makanya aparat harus tegas,” tutur dia .
BACA JUGA YANG LAIN